Senior Asafa Sebagai Modal untuk Menganalisa Nilai Historis



Sekian lama kita berupaya untuk menggeser paradigma senioritas didalam ruang intelektual dan gerakan. Selama itu pula proses yang kita agungkan terasa lebih menarik dan terlihat sedikit memiliki nafas yang berkelanjutan, tidak stagnan dalam satu angkatan dan satu orang yang di eluh-eluhkan.

Akan menjadi lebih baik dan segera terwujud sebuah gugatan dari diri yang ingin merdeka atas segala bentuk belenggu, yang semua tergambar dalam manifesto berlingkungan intelektual tanpa dikte. Sebagaimana slogan-slogan kemerdekaan yang selama ini diperdengungkan pada setiap lorong dan ruang.
Sehingga terwujudnya suatu lingkungan yang teratur tanpa aturan atas bentuk kepemimpinan yang anarkhi, tentunya ada pengecualian khusus untuk urusan surat menyurat. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh perjuangan pergerakan kemerdekaan dulu.

Serapi apapun dan serapat apapun dalam “menjinakkan” senior, untuk menyetarakan mereka dengan status kita yang masih ‘proses’ adalah sebuah tindakan yang harus kita sadari ke sia-siaannya. Sebab hanya dengan mereka, kita bergantung untuk sebuah metode berfikir yang historis, kita tidak akan pernah mampu meninggalkan mereka dengan segala bentuk cerita yang mereka ciptakan.

Beruntunglah mereka yang sudah terkontruk pola fikir pragmatis di alam fikirnya, akan lebih mudah untuk melalui masa-masa kritisnya sebagai junior, hanya dengan melihat satu kesamaan dan selera masa depan yang sama dengan seniornya.

Namun nasib sial akan menghampiri mereka yang alam fikirnya sudah terbentuk, karena mereka harus jeli dalam berjalin sesama untuk menggali dan melahirkan formula yang terbaik untuk zamannya dan selanjutnya.

Suatu ketika, kita pasti akan bertemu dengan bermacam-macam orang dan pemikiran, orang yang kita temui pasti memiliki ritme jalan pemikirannya sendiri-sendiri. Untuk perlu kita sadari dengan penuh prasangka baik, bahwa setiap orang yang kita temui akan membawa ritme itu dan mampu mempengaruhi ritme kita.

Jadi, jangan sampai kita kehilangan kendali ritme kita, tanpa memperadukannya dengan ritme orang lain. Dengan demikian sebuah proses dialektika yang menguntungkan kedua belah pihak akan terwujud.

Tentunya tawaran ini akan ditolak mentah-mentah oleh mereka yang masih tertanam sifat feodalis di otaknya, yang dalam konteks kyai-santri guru-murid tetap harus ada, dan tulisan ini berada pada konteks senior-junior.

Sesederhana itulah melihat suatu kenyataan yang dikemudian hari pasti akan kita rindukan, dan yang hari ini sedang kita lalui dengan derai air mata dan kucuran keringat mungkin juga darah. Bukankah telah kita ketahui bersama ‘siapa yang berfikir maka dia ada’ yakni sebuah keberlanjutan dari ruang yang sedikit lebih kecil dari pergaulan ini. Ruang pendewasaan diri.

Saat-saat yang paling menentukan seseorang dalam sebuah pencariannya adalah ketika ia menemukan sebuah hal baru, yang menarik dengan berbagai latar belakang penyebabnya, lalu dirasanya pas pada tujuan dan harapan pada kehidupannya.

Manusia sebagai makhluk sosial, dengan akal yang menempel padanya, ia akan membangun, merawat, mempertahankan dan mengembangkan komunitasnya, mulai komunitas yang berdasarkan kesamaan hobi, agama, suku hingga komunitas dalam bentuk negara dengan satu ideology. Sebagai tujuannya adalah terciptanya persatuan untuk meraih cita-cita bersama dalam segala bentuk perbedaan yang dibawa setiap individu didalamnya.

Nah, jika telah menyadari hal tersebut, penting rasanya untuk segera menetapkan dan menempatkan jiwa dan raga untuk berperan dalam satu komunitas tersebut, dengan memisahkan segala bentuk kepentingan pribadi dan golongan, guna satu kepentingan yang lebih besar dan berimbas banyak tanpa pembeda-bedaan.

Maka kapasitas diri didalamnya, haruslah menjadi perhatian khusus sebagai makhluk individu, untuk selalu tetap dikembangkan. Jangan sampai, sebagai makhluk individu yang ada didalam komunitas sosial,

Layaknya seekor bebek yang terpisah dari gerombolannya, ia tidak akan terlihat kebebekannya. Tak seperti seekor elang/garuda/rajawali/alap-alap yang harus terbang sendirian untuk menjadi diri sejatinya, lantas bagaimana dengan manusia ?

Sponsor Umum III

Sponsor Umum IV